Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia
menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang
sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa
manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil?
Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang
menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak
sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.
Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia
merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika
anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya.
Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya
jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis
adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.
Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah
kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang
menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika
ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh
anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis).
Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat
dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar
suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca
Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap
Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam
berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya,
kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya
benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka.
Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.
Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan
naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang
berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata?
Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati
seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru
maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam
kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a
kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia
ini.
Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang
mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan
jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya.
Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang
yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin
bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa
berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap
membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu
menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan
semesta alam.
Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran.
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad),
kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an)
yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya
Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang
menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah:
83).
Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16
hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah
dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah
Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang
lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan
kebenaran benar-benar merasakannya.
Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan
ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru
akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk
penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah
Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah
Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, “Sesungguhnya orang-orang munafik
itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali
tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)
Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka
menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga
malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau
tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah.
Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur
iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit
tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit
tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka
kerjakan”. (QS At Taubah: 82).
Jadi apa salahnya menangis?.
Sumber: eramuslim
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar