by Imron El Shirazy
“Ya udah deh, percaya, oia. Jujur nih,Li, tadi pas kamu lagi dikamar sementara kami makan, kami bicara tentang kamu lho,”
"bicara?
tentang aku? kayak aku artis aja yang suka dibicarakan orang. dan
kalian nggak bercita-cita jadi presenter infotainment kan? Memangnya
bicara tentang apa?”
"sebelumya maaf lho, Li ,kami nggak ada niatan apa-apa hanya saja.."
"hanya saja apa? Tenang saja, aku nggak bakalan marah kok, ngomong aja."
"hanya aja.. sebenarnya kamu ada hubungan apa sih sama Astuti?"
Seketika
Ghozali mematung, entah kenapa semuanya jadi ikut mematung, dalam
beberapa detik, kuburan manapun sepertinya akan kalah tenah bila
dibandingkan sikap mereka.
"itu ya?"
Tiba-tiba Ghozali bergerak. Dono seketika kaget. segelas teh hangat ditangan pun singgah diwajah Doyok.
"ahh... kamu apa-apaan sih, Don?" Doyok sedikit marah, tangannya menata wajah dan rambutnya, yangg lain tertawa.
"eh sory-sory, Yok. Nggak sengaja, kaget aja tadi," jawab Dono dengan cengengesan separuh tertahan
"udah-udah, Biar Ghozali jawab dulu, kalian ini, selalu saja kompak bertengkar !!” Aman menengahi.
"emang dari mana en kenapa kalian punya pikiran seperti itu?" Ghozali mulai berbicra.
"udahlah,
Li. kita semua udah dewasa, nggak usahlah kita jelaskan secara detail .
Seluruh Indonesia juga akan bertanya hal yang sama jika melihat kalian
kayak gitu."
"ya udah...ku terpaksa jawab nih, tapi santai
aja tho ya., kok malah jadi kayak patung-patumg aneh gani?" kata
Ghozali beserta sepenggal senyum.
"kalo emang keadaanya udah kayak gini, aku udah nggak bisa lagi membohongi kalian,..." wajah Ghozali memuram.
Semuanya memandanginya dengan tatapan paling serius yang pernah mereka meiliki,, semuanya menanti.
"aku,,,aku,,,aku,"
"aku apa?" Dono angkat bicara, ia sepertinya tak sabar wajahnya masih serius.
"aku dan Astuti.."
“Iya.. Kalian kenapa?”
Dono terlihat makin sewot.
"Kami..."
"teman
anyg sangat akrab!" Ghozali mendongakkan wajahnya, raut wajahnya
sengaja ia miripkan wajah artis kala sedang berakting didpan kamera. ia
seolah tanpa perasaan bersalah sedikitpun.
"alaaaaaaaaah!!!"
Dono
terpelanting. tehnya kembali mencium Doyok kali ini doyok beneran
marah, ia ambil guling dan mulai memukuli Dono, Dono meringis minta
ampun. Pukul-pukulan pun terjadi.
" ya udah lupakan, aku
terusin makan ya" tiba-tiba Ghozali mengangkat piringnya, sebuah senyum
aneh melintas dari wajahnya yang tampan, Aman dan Yanto hanya
mengangguk.
****
"kulo dereng saget maringi
keputusan sak punika. punapa mangke, putri kulo taksih alit. menawi
panjenengan sabar, nenggo kemawon. mungkin paling cepet setunggal tahun
malih saget. putrane njenengan nenggo sekalian saget”
mirsani putri kulo kados punapa."
Gadis
itu sempat mendengar abahnya mengatakan hal itu terhadap para tamunya
sebelum ia memasuki ruang tamu ndalem untuk menyajikan minuman di
hadapan sang abah, duduk seorang pria paruh baya dengan jenggot
memanjang, seorang pemuda cukup tampan berpeci duduk disebelahnya
persis,
Dan jika ia tak salah dengar, ia sedang dilamar.
Sang
gadis kaget tetapi tetap tenang seperti biasanya, ia terus melangkah
masuk ruang tamu ndalemya untuk menyajikan minuman dan makanya di
tanganya.
"monggo yi, mas..." sang abah mempersilahkan
tamunya untuk menikmati sajian yang telah dibawakan putrinya. pemuda
berpeci itu tiada henti memandangi sang gadis yang begitu tenang dan
hanya sekali saja membalas pandanganya sebelum kembali menunduk, seperti
biasanya. sang gadis kembali masuk.
"ummi" ucap gadis itu begitu sampai diruang tengah, seorang wanita dengan wajah teduh tersenyum didepanya.
"lamaran lagi, anakku. untkmu, entah keberapa kalinya,”
Ummi wajah gadis itu memerah. ia segera menghilang dari depan umminya, sang umi tersnyum , lagi.
***
"Begitulah... Jadi yang akan aku ceritakan pada kalian semua adalah tentang bu nyai,"
Kata
Dono ringan, perkataanya tak bisa disangkal lagi telah membuat mata
kawan-kawannya lebih tegas memandangnya, ia sendiri hanya cengengesan,
untuk beberapa lama.
"kok malah masih senyam-senyum sendiri sih, ditungguin juga!" Doyok sdikit sewot.
"Ooh, nungguin tho ?? Hemm, kirain pada cuek en nggak mau tau" kata Dono ringan.
"Don..." mata Aman melotot.
"iya ...iya...langsung aja ya?
Kemaren
selama seminggu aku mencari informasi tentang bu Nyai. mulai dari para
santriwati yang ku kenal, tukang nasi pesantren, hingga para anak-anak
yang ikut TPA, Alhasil, lengkap deh informasi yang ku miliki" Dono
berhenti sejenak.
"tapi nggak adil dong. aku capek-capek
nyari informasi, kalian tinggal terima aja. Harusnya ada uang capeknya
nih, atau minimal, uang transport." Dono kembali mengalihkan.
"kamu itu lho, Don. mau jadi China Purwodadi?" Yanto kali ini yang angkat bicara.
"yeee.. ya nggak gitu. hidupkan perjuangan. kita harus berjuang dong. maka..."
"Don.." suara pelan Aman memaksa Dono melihat wajah Aman, tampak matanya lebih tajam dari samurai Jepang.
"oke-oke ,,, aku mulai cerita,
Nama
asli bu Nyai adalah Khadija Salsabila. dia berusia sekitar dibawah
kita, sekitar 2 tahun orangnya sangat cerdas dari SD hingga Aliyah dia
selalu rangking satu, bahkan selalu menjadi lulusan terbaik disekolahnya
dulu, hanya saja karena dia ingin dekat dengan Allah, ia memilih
berhenti di Aliyah saja, bukan karena dilarang sang ayah, tapi memang
atas kemauanya sendiri, karena itu, ia mulai menghafal Al-Qur'an hingga
sekarang, dan setahun lagi ia INSYA ALLAH resmi jadi seorang hafizhah,
namun ternyata, disitu masalahnya."
"masalah?...maksudmu?"
Kata Doyok semakin penasaran dan semakin tajam menatap Dono.
"kalian
tahu gadis itu gimana kan? gadis yang oleh keluarganya di panggil
"Pelangi" itu pintar, cuantik, anggun, sopan, dan terlhat jelas begitu
sholehah. Laki-laki mana coba yang tak ingin jadi suaminya?"
"maksudmu..."
"sejak
sekitar setahun ini begitu banyak lamaran datang ke keluarganya, tentu
bukan orang biasa, entah berapa orang kiayi pengasuh pesantren yang
melamarnya untuk putra mereka
"lalu...?" pertanyaan ini datang dari mulut Anan. kali ini semuanya sudah tak bisa menahan diri.
"meskipun banyak lamaran yang datang. tapi belum ada satupun yang ditrima karena dia belum hafal Al-Qur'an.
"bentar-bentar... Kamu bilang tadi dia dipanggil sama keluarganya 'pelangi'? Maksudnya apa tuch?"
"owh..yang
itu. kata seorang agen yang dapat di percaya dan diperalat hehehe...bu
nyai lahir dikala senja sedang memperlihatkan pelangi terindahnya,
sehingga sang ummi ingin ia diberi nama 'pelangi'. namun abahnya tak
setuju, ia ingin nama yang indah sekaligus do’a,,, meyakinkan nggak??'
Dono terlhat sedikit sombong.
"oowwh..." yang lain kompak mengangguk
Percakapan
yang terjadi diruang tamu itu sampe ke telinga Ghozali yang sedang
menepi dikamar. matanya tak lagi bekaca, tapi menangis, Bayangan anggun
seorang gadis kembali melintas, bayangan anggun yang segera di susul
bayangan-bayangan gadis-gadis lain yang semuanya cantik.
Sejenak kemudian tangannya bergerah dan menggapai mouse komputer dikamarnya, kemudian sebuah lagu terdengar
ANDAI KU TAHU,, KAPAN TIBA AJALKU... KUAKAN MEMOHON TUHAN TOLONG PANJANGKAN UMURKU...
Ghozali tertunduk, bayangan-bayangan begitu banyak kejadian melintas begitu saja.
Wajah
Ghozali terangkat, ia tatap sebuah tulisan kecil yang tertancap pada
sbuah sterefoam pada dinding kamarnya tulisan kecil sebuah nama. kelopak
matanya tak jua menutup untuk waktu yang lama, tatap mata yang tidak
bisa dijelaskan dengan kata.
"Khadija Salsabila,.. Jinan Salsabila,.."
Bibir Ghozali tiba-tiba mengucap 2 nama, lirih sekali, isak tangis memenuhi ruangan itu seketika.
"Heh
, Ngawur!! Segitu duitnya siapa? apa yang punya bank Indonesia ini
mbahmu? netepin uang kas kok gedhe banget kayak gitu. jangan jadi
kompeni ya!!" Protes Aman pada Dono saat Dono menulis nominal 50.000
pada bab pembayaran uang kas untuk kost-kostan itu.
Nggak gitu Man, kalo uangnya sisa, bisa kita gunakan buat makan-makan, dipemancingan Polaman misalnya..." jawab Dono enteng.
"Gila kali Don!! Sahut Aman dengan gaya meniru Indro warkop.
“Ya
kita sesuaikan dengan pengeluaran bulanan kost kita ini dulu, kita
harus mengkalkulasi pengeluaran seperti listrik, air minum jadi nggak
secepat itu"
"berarti ngitung sik nih?"
Tiba-tiba sebuah salam terdengar .
"Assalamu'alaikum..." suara Astuti.
"Wa'alaikumsalam..masuk, Ti," kata Aman, yang lain juga membalas salam itu pelan.
"Ghozali?"
"iya,,"
"sebentar ya, aku panggilin. duduk dulu,Ti."
Aman segera memanggil Ghozali,
"Li.. Ghozali... Astuti datang nih!"
Aman mengetuk pintu yang masih tertutup.
"iya, sebentar!"
Ghozali keluar dari kamarnya dengan rambut yang masih berantakan.
"udah jam tiga tho,.. maaf ya, Ti. abis tidur capek," kata Ghozali begitu matanya bertemu dengan mata Astuti.
Mereka ada janji akan ke pesantren
Tunggu bentar ya, Ti, aku belum sholat, udah Ashar.
"boleh
bareng, Li.. aku juga blum Asharan kok," pinta Astuti sedikit malu,
wajahnya agak memerah, seketika ke'empat sahabat Ghozali saling pandang.
"ya bisa, tapi disini kan gak ada rukuh," jawab Ghozali .
"aku ada kok ditas."
"udah kamu siapin?"
"nggak sih, tapi emang udah biasa gini. dari kecil ibuku selalu mengajarkan untuk selalu membawa mukena kemanapun aku pergi."
Seketika wajah Ghozali berubah,
"sholat itu kan wajib, Li. Tiangnya agama jadi aku selalu bawa rukuh ke manapun aku pergi . kamu tahu itu kan?"
Wajah
seorang gadis berkerudung melintas, gadis yang dulu mengucapkan kalimat
itu padanya, kalimat yang ia jawba dengan sebuah kebohongan guna
menutupi kenyataan bahwa ia tak tahu hal itu dulu.
"Jinan.."
Bibir gozali bergerak. pelan sekali.
"Li..kamu kenapa?"
Perkataan Astuti mengagetkannya.
"oh , nggak papa. ya udah, silahkan kamu ambil wudhu dulu, biar aku ganti sarung,skalian ambil peci."
Tak lama kemudian mereka berjamaah.diruang tamu.
"ssstt..." Dono memberi isyarat pada ketiga kawanya saat Ghozali sedang berjama'ah dengan Astuti,
BERSAMBUNG..,
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar